English

Kamis, 16 Mei 2013

Derap Langkah Sang Pembangun Peradaban


Betapa inginnya kami agar bangsa ini mengetahui
Bahwa mereka lebih kami cintai dari diri kami sendiri
Kami bangga ketika jiwa kami gugur
Sebagai penebus kehormatan mereka
Jika memang tebusan itu diperlukan
Atau sebagai harga bagi tegaknya kejayaan, kemuliaan, dan cita-cita mereka.
Jika memang itu harga yang harus dibayar
Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini,
Selain rasa cinta yang telah mengharu biru hati kami
Menguasai perasaan kami, Memeras air mata kami
Mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami
Betapa berat rasa di hati ketika kami menyaksikan bencana yang mencabik-cabik negri ini,
Sementara kita hanya sanggup menyerah pada kehinaan dan pasrah oleh keputusasaan.
(Hasan Al-Banna)

Begitu membaca ini, entah mengapa hati saya begitu  bergetar, sesak rasanya nafas ini begitu selesai membaca curahan hati sang pahlawan timur tengah ini. Usianya masih tergolong muda, namun begitu besar rasa nasionalisme yang dimilikinya. Tentu tidak hanya kepada negerinya saja, Mesir. Tapi nasionalisme dalam pikiran sang pahlawan mesir  adalah seluruh bumi ini, tidak tersekat oleh batas-batas kecil territorial.

Ketika kita bicara mengenai pahlawan, maka sebagian besarnya adalah pemuda. Tokoh Revolusi kita, Ir.Soekarno masih terbilang muda ketika menjabat sebagai presiden Indonesia pertama. Para pencetus reformasi adalah kalangan mahasiswa yang jiwanya tergerak melihat kezhaliman rezim orde baru ketika itu. Dan sekarang, ketika negeri ini kembali terseok-seok dengan berbagai masalahnya. Maka tibalah giliran kita untuk ambil bagian dalam rangka menjadi pahlawan itu. Bukan, bukan agar nama-nama kita tercetak di buku sejarah kelak, bukan agar kita kelak dijadikan idola oleh anak-cucu kita. Tapi cukuplah Allah menempatkan kita di syurga tertinggi-Nya, berdekatan dengan Arsy-Nya.

Begitu banyaknya problema di negeri kita ini mungkin telah membuat pesimis banyak orang. Negeri ini seperti benang kusut yang sudah tidak dapat ditemukan lagi cara untuk meluruskannya. Mungkin sudah tidak aneh lagi ketika ada yang berkata “Biarlah terlambat, jam orang Indonesia kan terbuat dari karet”. Atau mungkin sudah tidak aneh lagi dengan korupsi, baik secara besar-besaran atau kecil-kecilan?.
Lalu kemanakah pemuda yang `katanya` adalah penerus bangsa ini?. Ya, mereka sedang dililit oleh berbagai pemikiran, “Ghazwul Fikr” namanya. Budaya 5F (Film,Food,Fashion,Fun,Female) telah menggelegar di seluruh penjuru Indonesia. Ditambah lagi dengan bobroknya sistem pendidikan Indonesia yang membuat pemuda semakin terperosok dalam lubang kehancuran.



Dalam pandangan saya, sebenarnya hanya ada 1 solusi untuk semua problema di negeri ini. Dan kita sebagai pemuda, tentunya bisa mengambil peran itu. Solusi itu adalah membangun peradaban Islam.
Ya, hanya itu sebenarnya solusi untuk meluruskan kembali kusutnya negeri ini. Kita, sebagai pemuda harus mulai dari diri sendiri menjadi SDM yang unggul, kemudian kita membentuk keluarga yang ideal, membentuk masyarakat madani, dan puncaknya menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dunia.

Seperti kita ketahui bersama dalam teori manajemen, bahwa SDM merupakan pilar paling penting dalam sebuah perusahaan. Begitu pula dengan sebuah negara, SDM dengan attitude yang memukau bisa menjadi solusi bagi permasalahan negeri ini. Ketika nilai keagamaan sudah terpatri dalam hati, maka tawaran korupsi, rasa malas, terlambat, dan mental pecundang akan sirna. Karena ajaran Islam sudah sempurna, hanya saja sering kali pribadi Islamlah yang tidak menunjukan indahnya agama Islam, tersekat oleh hal-hal kecil yang sama sekali tidak penting, sementara para musuh terus mendigdaya bangsa ini dengan “ghazwul fikri” nya.

“Peradaban adalah karya agung lintas generasi, Negri ini tidak bisa dibangun hanya dengan ide satu orang, dengan keringat satu orang, dengan darah satu orang. Yang dibutuhkan Indonesia bukanlah satu orang presiden, tapi sebuah tim impian!. Karena itu lahirkanlah 100 Pemimpin Muda Indonesia!”.
Seperti itulah ungkapan Bapak Mantan Wakil Ketua DPR RI, Muhammad Anis Matta tentang peradaban.
Ya, Negeri ini tidak akan pernah selesai permasalahannya jika hanya satu atau dua orang yang memikirkannya. Negeri ini butuh satu generasi utuh yang memikirkan bangsa ini !. Satu generasi itu ada yang masuk ke pemerintahan, masyarakat, ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain lain.

Peradaban terbangun melalui pendidikan, sepertinya kita tidak bisa lagi mengharapkan sistem pendidikan sekarang yang justru kian hari kian tidak jelas arah tujuannya. Karena itu salah satu hal yang bisa dilakukan adalah pendidikan non-formal. Disini peran orang tua sangat sentral, karena merupakan gerbang utama para pemuda dalam menentukan seperti apa masa depannya. Oleh karena itu, sebelum interaksi antara anak dengan orang tua semakin berkurang, bekalilah ia dengan ilmu agama. Akan tetapi, semakin dewasa orang tersebut, biasanya keinginan untuk belajar ilmu agama semakin berkurang. Dan otomatis jika hal ini terus menerus terjadi, ibadah dan akhlaknya menjadi tidak terkendali.

Satu solusi kecil yang sudah saya jalani adalah mengikuti sebuah sistem pendidikan informal mengenai Islam, tapi bukan Islam dalam nalar Ibadah saja, tapi Islam yang komprehensif. Itulah mentoring, satu mentor memegang  7-12 orang murid. Karena pesertanya terbatas, maka sudah pasti efektif. Sang mentor tidak hanya memberikan pengetahuan, tapi juga teladan. Disana juga akan nada rasa persaudaraan yang erat, suasana kompetisi yang positif, dan nasihat-nasihat indah yang menyadarkan kita. Pertemuannya hanya sepekan satu kali, tapi efeknya begitu luar biasa dalam membangun peradaban yang madani.

Seperti disinggung di awal tadi, Peradaban yang unggul dimulai dari SDM yang unggul, dan pembekalan agama merupakan hal terpenting dalam mencetak generasi unggul, maka kita sebagai pemuda harus bisa membina adik-adik kita, membekali mereka dengan pemahaman agama yang kaffah, dan ketedalanan tanpa cela. InsyaAllah, bermula dari SDM unggul, menuju peradaban madani, dan negara Indonesia yang mampu menggenggam dunia.


Dengan semangat membara penuh cinta untuk membangun peradaban.
Wahyu Nustantomo
Asrama Beastudi Etos Putra, Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar